Berdasarkan hasil penelitian dari Ellen MacArthur Foundation tahun 2016, jika masyarakat dunia tidak bisa mengubah pola hidup menggunakan plastik, maka tahun 2050 lautan akan dipenuhi plastik daripada ikan. Ironisnya, Indonesia dinyatakan sebagai negara peringkat dua penyumbang sampah plastik terbesar ke lautan dunia.


Berangkat dari keresahan tentang sampah plastik yang ada di Indonesia, Kevin Kumala mendirikan Avani Eco tahun 2014. Sebuah startup berbasis sains yang memproduksi produk ramah lingkungan yang berlokasi di Bali, Indonesia. Proses pendiriannya memakan waktu yang panjang. Sejak tahun 2011, Ia dan rekannya melakukan riset dan sempat memikirkannya dengan ragu; apakah proyek ini worth it?

Selama riset dan perencanaan dilakukan, kerap kali sarjana Biologi itu dipandang sebelah mata oleh banyak orang. Bahkan, beberapa teman di sekitarnya. Mereka beranggapan bahwa apa yang dicita-citakannya terlalu idealistis. "Ini Indonesia, sulit menjalankan sesuatu yang sangat idealistis," tiru Kevin pada acara BukaTalks yang diadakan akhir bulan September 2018 di Jakarta.

"Walaupun kadang diremehkan, saya tetap jalankan apa yang saya cita-citakan karena saya pegang tiga elemen penting. Pertama, dukungan dari kedua orangtua. Kedua, kegemaran saya adalah surfing dan diving. Tidak mungkin saya berselancar dan menyelam bersama plastik, kan? Yang terakhir, saya terus melangkan dengan iman," ujar lelaki yang memutuskan drop out dari Kedokteran University of California, Los Angeles, Amerika Serikat untuk mendirikan Avani Eco itu.


Kevin Kumala, Founder Avani Eco (Foto: Aulia Annaisabiru)
Selanjutnya, soal pengelolaan sampah, menurut Kevin, seringkali didengungkan 3R, yaitu Reuse, Reduce, Recycle. Tapi, hasilnya sudah efektif atau belum itu masih menjadi pertanyaan. "Sejalan dengan Avani Eco, kami menambahkan R yang satu lagi, yaitu Replace atau menggantikan," tambahnya.

Kevin juga mengatakan, "Dengan adanya perkembangan teknologi seperti sekarang, proses Replace tidak hanya bisa mengubah kebiasaan masyarakat menggunakan plastik. Tapi, juga menjadi peluang untuk membuat usaha yang inovatif dan memiliki dampak yang berkelanjutan pada lingkungan. Kami ini bukan profit-driven company tapi purpose-driven company. Karena kami percaya, dengan fokus terhadap tujuan kami untuk mengurangi sampah plastik, keuntungan akan datang sendiri kepada kami."

Pada awalnya, memang pemasaran sulit dilakukan, khususnya di Bali, tempat Avani Eco berdiri. Tapi, dengan melakukan pendekatan kepada teman di sekitar dan beberapa komunitas di Bali yang fokus terhadap isu lingkungan, pemasaran berjalan semakin lancar. Dengan sendirinya, tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun untuk promosi, produk ramah lingkungan Avani Eco laris dipasaran. "Produk kami memang tergolong lebih mahal daripada plastik konvensional yang sulit terurai. Tapi, jangan hanya pertimbangkan soal biaya, kita juga harus perimbangkan soal lingkungan tempat kita hidup ke depannya," ujar Kevin.


Perbandingan produk Avani Eco dengan plastik biasa (Dok. Avani Eco)
Beberapa produk yang dijual oleh Avani Eco antara lain, kantong belanja dan kantong sampah organik berbahan dasar singkong, piring berbahan dasar ampas tebu, dan tersedia juga tampat makanan dan sedotan berbahan dasar pati jagung. Setelah produk-produk tersebut tidak digunakan lagi, masyarakat yang menggunakannya dapat menjadikannya pupuk kompos.

Selain menggunakan bahan dasar alami seperti singkong, Avani Eco juga menggunakan teknik closed-loop recycling dalam pembuatan produknya. Artinya, mereka mengumpulkan bahan sisa konsumsi yang sudah tidak terpakai untuk membuat produk baru. Masyarakat tidak perlu takut dengan produk ini karena telah lulus uji sertifikasi internasional dari Food and Drug Administration (FDA) atau Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat.

"Beberapa keberhasilan kami sampai saat ini, tahun 2016, kami sudah berhasil menggantikan sekitar 200 juta ton plastik dengan produk ramah lingkungan kami. Tahun 2018, berkembang pesat, selama 8 bulan telah berhasil menggantikan sekitar 1.700 ton plastik, baik di dalam maupun luar negeri," tutup Kevil Kumala pada acara BukaTalks akhir bulan September 2018.
Axact

Axact

Vestibulum bibendum felis sit amet dolor auctor molestie. In dignissim eget nibh id dapibus. Fusce et suscipit orci. Aliquam sit amet urna lorem. Duis eu imperdiet nunc, non imperdiet libero.

Post A Comment:

0 comments: