Pesatnya kemajuan teknologi memberikan banyak kemudahan dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi saat ini sudah ada sosial media yang semakin memudahkan untuk mencari berbagai informasi.
Kendati demikian, kita juga harus paham bahwa kehidupan dunia maya dikelilingi oleh konten negatif, seperti berbicara kasar dan juga hoax. Selain itu juga video-video kekerasan ataupun yang mengandung unsur sara.
Video yang tersebar itu begitu banyak dan meyakinkan sehingga kita kadang nggak sadar ikut terprovokasi dan nyebarin informasi itu. Sebenarnya, apa sih yang mendasari konten negatif lebih menarik untuk dilihat dan kemudian disebarkan.
Dosen Sosiologi Universitas Indonesia, mengungkapkan alasannya. Menurutnya, secara sosiologi suatu yang berbeda dengan norma umum lebih menarik untuk dilihat. Di masyarakat, konten negatif adalah hal yang harus dihindari dan tidak sesuai dengan norma yang berlaku.
Namun pandangan ini kemudian muncul paradoks dimana semakin kekerasan dilarang. Jadi ketika ada 1-2 orang atau lebih yang melakukan kekerasan tindakan tersebut menjadi viral karena menarik dan dilihat orang banyak.
"Penyimpangan dari nilai utama yang dipegang oleh masyarakat adalah sesuatu yang paling mudah menjadi booming. Untuk itu harus disesuaikan dengan regulasi dari berbagai sisi,” ujar Daisy saat ditemui dalam diskusi bersama Ngobras!, kemarin di Jakarta.
Daisy pun mengatakan untuk mencegah terjadinya kekerasan terutama yang dilakukan oleh anak bukan hanya butuh regulasi dari pemerintah. Norma umum di masyarakat harus diinternalisasi. Jadi anak tidak sekadar dilarang melakukan kekerasan tapi dijelaskan alasan dibaliknya.
"Selama ini penanaman nilai cuma nggak baik, sudah. Padahal harus diikuti dengan reasoning. Itu yg harus ditanamkan, nggak hanya yes or no," jelasnya.
Seseorang ataupun kelompok yang melakukan kekerasakan itu karena mereka menganggap itu sebuah kompetisi dan menunjukan kekuatan masing-masing.
"Pemikiran orang itu, kalau ada satu kelompok mengintimidasi akan ditakuti, mereka lagi membentuk identitas, mereka ingin menunjukan diri kalau mereka hebat. Itu jadi menarik karena mereka nggak tau bahwa melakukan hal itu siapa yang akan dirugikan," jelasnya.
"Anak itu senang jadi ekasis, dan mereka jadi korban eksistensi. Sesuai pandangan dia siapapun di ada padahal secara tidak langsung yang tidak selektif dengan dia bisa membahayakan diri dia. Lebih baik slektf dalam memilih teman," pungkasnya.
Kendati demikian, kita juga harus paham bahwa kehidupan dunia maya dikelilingi oleh konten negatif, seperti berbicara kasar dan juga hoax. Selain itu juga video-video kekerasan ataupun yang mengandung unsur sara.
Video yang tersebar itu begitu banyak dan meyakinkan sehingga kita kadang nggak sadar ikut terprovokasi dan nyebarin informasi itu. Sebenarnya, apa sih yang mendasari konten negatif lebih menarik untuk dilihat dan kemudian disebarkan.
Dosen Sosiologi Universitas Indonesia, mengungkapkan alasannya. Menurutnya, secara sosiologi suatu yang berbeda dengan norma umum lebih menarik untuk dilihat. Di masyarakat, konten negatif adalah hal yang harus dihindari dan tidak sesuai dengan norma yang berlaku.
Namun pandangan ini kemudian muncul paradoks dimana semakin kekerasan dilarang. Jadi ketika ada 1-2 orang atau lebih yang melakukan kekerasan tindakan tersebut menjadi viral karena menarik dan dilihat orang banyak.
"Penyimpangan dari nilai utama yang dipegang oleh masyarakat adalah sesuatu yang paling mudah menjadi booming. Untuk itu harus disesuaikan dengan regulasi dari berbagai sisi,” ujar Daisy saat ditemui dalam diskusi bersama Ngobras!, kemarin di Jakarta.
Daisy pun mengatakan untuk mencegah terjadinya kekerasan terutama yang dilakukan oleh anak bukan hanya butuh regulasi dari pemerintah. Norma umum di masyarakat harus diinternalisasi. Jadi anak tidak sekadar dilarang melakukan kekerasan tapi dijelaskan alasan dibaliknya.
"Selama ini penanaman nilai cuma nggak baik, sudah. Padahal harus diikuti dengan reasoning. Itu yg harus ditanamkan, nggak hanya yes or no," jelasnya.
Seseorang ataupun kelompok yang melakukan kekerasakan itu karena mereka menganggap itu sebuah kompetisi dan menunjukan kekuatan masing-masing.
"Pemikiran orang itu, kalau ada satu kelompok mengintimidasi akan ditakuti, mereka lagi membentuk identitas, mereka ingin menunjukan diri kalau mereka hebat. Itu jadi menarik karena mereka nggak tau bahwa melakukan hal itu siapa yang akan dirugikan," jelasnya.
"Anak itu senang jadi ekasis, dan mereka jadi korban eksistensi. Sesuai pandangan dia siapapun di ada padahal secara tidak langsung yang tidak selektif dengan dia bisa membahayakan diri dia. Lebih baik slektf dalam memilih teman," pungkasnya.
Post A Comment:
0 comments: